Cerita Sedih Pengorbanan Istri Yang Dimadu, Bikin Nangis [Silahkan Share] - Cerita ini
adalah kisah nyata dari sahabatnya sahabatku, yang tidak ingin disebutkan nama
aslinya. Ia memintaku untuk menuliskan perjalanan cintanya dalam sebuah cerita.
Semoga ini juga menjadi pembelajaran untuk kita semua dan bisa memetik hikmah
dari sebuah peristiwa, walau pengalaman yang datang dari orang lain.
Cinta adalah sesuatu yang lembut dan halus. Mencintai dan
dicintai adalah keinginan setiap orang, karena dengan saling mencintailah
kebahagian itu akan tercipta. Mencintai tapi tak dicintai, adalah hal yang
wajar karena cinta adalah perasaan yang tidak bisa dipaksa. kebahagiaan tak
akan terasa ada jika terjalin dari keterpaksaan.
Kisah cinta ini berawal ketika aku mengenalnya lewat memori
hujan di sudut kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Setelah pulang kerja, aku
terdesak untuk mengikuti mata pelajaran tambahan di kampus. Tetapi naas, motor
yang kukendarai dengan kecepatan tinggi jatuh terhempas di jalanan membuatku
tak sadarkan diri. Entah bagaimana akhirnya, wanita itu membawaku ke rumah
sakit terdekat.
Tiga hari aku dirawat di sana, dia lah yang menjagaku,
karena aku sebatang kara di kota itu. Keluargaku ada di kota sebelah, orang
tuaku asli warga Banjarmasin dan menetap di sana. Sementara, aku kuliah di
Palangkaraya sebagai anak kost dan bekerja di Pall Mall sebagai kasir.
Meskipun sebenarnya aku anak orang berada, tetapi aku lebih
memilih hidup mandiri. Kuliah dari hasil pekerjaanku sendiri serta bantuan
beasiswa yang kuterima dari Universitas Palangkaraya. Aku ingin jadi lelaki
mandiri agar kelak bisa berdiri tanpa bergantung pada orang lain, terutama pada
orang tuaku sendiri.
"Lize" nama wanita itu. Senyumnya menggetarkan
jiwaku. Wajahnya cantik, secantik hatinya. Satu kata mulai terlahir dari hatiku
yang mungkin terlalu cepat. Aku jatuh cinta padanya, saat pertama kali
melihatnya. Gadis cantik itu bernama, Lize Kristiani. Keturunan Chines yang
memilik wajah oriental suku Dayak Palangka.
Setelah kami saling berkenalan dan bertukar nomer hp aku
sangat terkejut, ternyata dia seorang mahasiswi yang satu kampus denganku.
Kondisiku yang belum sembuh betul karena luka yang cukup serius membentur
tulang kakiku masih terasa pedih kurasakan, membuatku harus dituntun sampai ke
dalam mobil. Lize, mengantarku sampai tempat aku kost ke jalan Krakatau.
Setiap hari, kami selalu pulang dan pergi ke kampus bersama.
Pertemanan kami berakhir dengan berawalnya kisah cinta. Aku tak dapat
menghindari perasaan ini, semakin aku menjauh darinya, semakin hatiku sakit.
Aku telah terpanah busur cintanya, walau sudah beberapa kali
kupikirkan untuk menjauhinya, ternyata hanya membuat hatiku semakin terluka.
Akhirnya, kuputuskan untuk kuteruskan saja cinta ini. Walau kutahu, aku telah
salah memilih tambatan hati. Aku seorang Muslim, dan dia seorang Kristen.
Lize. Dia sangat mencintaiku, seperti itu pula cintaku
padanya. Cinta ini lahir begitu saja tulus dari hati, sampai tak ada wanita
lain yang bisa menggeser posisinya di hatiku. Sekian lama kebersamaanku
dengannya, keluarganya pun turut merestui hubungan kami.
Mereka juga tahu, kami dari agama yang berbeda. Sudah hampir
empat tahun cinta kami terjalin, sudah lebih sepuluh kali aku membujuknya
memeluk agama Islam. Tapi, sudah sepuluh kali juga tiap aku memintanya untuk
meninggalkan agamanya, dia malah memilih untuk memutuskan jalinan cinta yang
kami bina. Semua itu membuat aku sangat terpukul.
Pernah satu kali dia memutuskan cinta, lalu meninggalkanku
seminggu ke Jakarta, hatiku sungguh sangat terluka. "Padahal hanya
seminggu" Aku, seperti orang gila yang terlihat normal. Tak ada satu orang
pun yang bisa membuatku tersenyum.
Teman-temanku yang berusaha menghiburku dengan menghadirkan
wanita lain di hadapanku juga tak ada gunanya. Baru kusadari cintaku pada Lize
bukanlah cinta biasa.
Aku, kembali merasakan butir-butir kebahagiaan setelah ia
ada di hadapanku, datang membawakan segelas lemon tea dan nasi rawon
kesukaanku. Dia tahu, aku selalu telat makan. Lize menyuapiku tanpa bicara
sepatah kata pun. Airmata mengalir di pipiku meruntuhkan derajat kelelakianku,
tapi aku tak peduli itu. Aku pun memeluknya dengan sangat erat dan meminta maaf
padanya.
"Rifky, aku mencintaimu, tapi aku tak pernah memaksamu
untuk meninggalkan Tuhanmu" matanya berkaca-kaca memandangi wajahku dengan
sendu.
"Maaf kan ... aku ... Ay ... ( panggilan kesayanganku
untuknya) aku janji tidak akan mengulangi hal bodoh ini lagi. Aku mencintaimu,
kumohon jangan pernah tinggalkan aku lagi."
Kuliah selesai, dan kami pun mengadakan Wisuda. Lize
memintaku untuk segera melamarnya, aku pun tak menolak untuk hidup bersamanya.
Aku pulang ke Banjarmasin dan berjanji akan kembali datang untuk melamarnya,
setelah mendapatkan pekerjaan tetap.
Tetapi, masalah besar justru hadir setelah kepulanganku.
Cintaku ditentang keras oleh orang tuaku. Ayah dan Ibuku ternyata telah
menyiapkan jodoh untukku, yaitu putri sahabat Ayah seorang gadis muslimah dari
Martapura, Kalimantan Selatan.
Wanita salehah yang juga cantik rupanya itu bernama, Ikhma.
Aku tidak tertarik dengan wanita keturunan gadis Banjar-Arab itu. Bagaimana
mungkin aku akan bahagia nantinya, jika aku harus menikah dan hidup bersama
dengan wanita yang sama sekali tidak aku cintai?
Aku tak berdaya menolak paksaan kedua orang tuaku ,untuk
segera menikah dengan Ikhma. Aku juga tak punya kekuatan untuk terlepas dari
kuatnya cinta pada wanita pertama yang hadir di hidupku. Lize, dialah wanita
yang menorehkan cinta teramat dalam di hatiku, yang menyesakan dadaku dengan
menghadirkan kenangan manis yang selalu membuat aku rindu.
Wanita yang sering membuatku menangis karena takut
kehilangan cintanya. Bagaimana mungkin aku bisa terlepas begitu saja untuk
meninggalkannya? Sementara hatiku telah terkurung dalam penjara cintanya. Empat
tahun bukanlah waktu yang singkat untuk menyayangi seseorang dalam kebersamaan,
lantas melepaskannya begitu saja. Tentunya bukan hal yang mudah untuk
kehilangan orang yang teramat dicintai.
Rasa berdosa kepada pengantin wanita di sebelahku, dan
kepada wanita yang sedang menungguku terus memburu ke dalam hatiku. Kusebut
nama yang salah dalam proses ijab kabul, yang akhirnya diulang berkali-kali
membuat Ikhma nampak kecewa kepadaku.
Hatiku haru biru. Kesekian kalinya aku mendapat bimbingan,
akhirnya kata sah keluar dari saksi kedua mempelai. Ikhma, dia resmi menjadi Istriku.
Setelah selesai shalat Isya berjamaah. Tak ada malam pertama
setelah kami menikah, aku berdalih tak enak badan pada Ikhma. Padahal malam
pertama, adalah malam terindah yang selalu dinantikan sepasang pengantin muda.
Tapi tidak bagiku, pedih dan sedih mengumpat di dadaku. Ikma buatkan aku
secangkir teh hangat dan membujukku untuk makan, aku menolak. Bahkan, aku tak
meminum sedikit pun teh yang disiapkannya untukku hingga dingin.
Malam-malam selanjutnya kulakukan tugasku sebagai suami,
meskipun saat melakukannya yang kubayangkan hanya wajah Lize. Wajah itu selalu
membayang-bayangi di setiap hariku. Aku yang sebenarnya periang dan penyayang.
kini berubah menjadi pribadi yang pendiam dan tertutup. Di rumah aku hanya
bicara seperlunya, dan sekarang aku menjadi seorang lelaki yang mudah marah,
walau aku tak pernah memukul wanita.
Sedikit saja Ikhma berbuat salah, aku selalu memakinya,
memarahinya dengan meledak-ledak dan mengeluarkan kata-kata kasar. Kalaupun dia
tidak salah, aku selalu berusaha mencari-cari kesalahannya.
Berulang kali kucoba ingin menceraikannya, selalu tak ada
kekuatan untuk melakukannya. Tak ada dukungan dari siapapun, selain hatiku
sendiri yang menentang. Pastinya orang tua dan keluargaku akan marah, karena
mereka menganggap Ikhma wanita terbaik untuk hidupku dan masa depanku.
Meskipun Ikhma sering mendapatkan perlakuan yang tak enak
dariku, ia selau sabar menghadapi tingkahku, walau ia tak mendapatkan hak nya
sebagai seorang istri.
Setiap kali aku menghubungi Lize via telpon hatiku terasa
sangat sakit, karena banyak kebohongan-kebohongan tercipta setelah aku menikah.
Aku, yang sebenarnya telah bekerja di perusahaan besar di Banjarmasin dengan
jabatan yang cukup tinggi, mengaku belum mendapatkan pekerjaan tetap. Sehingga,
aku belum bisa menemui Lize ke Palangka untuk memenuhi janjiku yang tertunda,
yaitu menikahinya.
Ikhma, sebenarnya ia wanita yang baik dan cantik, tapi
hatiku tak pernah tergerak untuk mengakuinya sebagai istri. Sebelum berangkat
ke kantor, Ikhma selalu menyiapkan segala keperluanku. Mulai dari menyiapkan
makan, sampai memakaikan sepatu dan jasku. Terkadang, ia juga menyelesaikan
tugas-tugas kantor yang belum sempat kuselesaikan.
Sebelum berangkat kerja ia selalu mencium tanganku dengan
lembut, tapi aku tak pernah mengecup keningnya. Aku tahu, ia sangat
mengharapkan kelembutan hatiku, merindukan sentuhan hangat juga merindukan
kecupan kasih sayang dariku. Layaknya wanita lain yang mendapatkan kemesraan
dari setiap pasangannya.
Sewaktu makan siang pun, ia selalu mengantarkan rantang
makanan nasi rawon kesukaanku, walau tak pernah kusentuh masakan itu. Saat
pulang kerja, aku tak pernah tersenyum menemui istriku yang membukakan pintu dengan
dandanan yang cantik, bahkan sudah menyiapkan air hangat untuk mandi sore
beserta baju gantiku.
Pahitnya, hatiku tak pernah tersentuh. Yang kutahu, apa yang
ia lakukan untukku selalu salah di mataku. Aku, tak bisa membedakan mana yang
hitam dan putih lagi., yang kutahu, ia selalu salah dan salah. Walau pun ia
benar, di mataku ia tetap salah.
Lize. Aku pun tak punya pilihan lain. Dia, mengancam akan
meninggalkanku, bila tidak segera menikahinya.
Tak ada wanita yang ingin dimadu, tapi tak ada juga lelaki
yang ingin hidup satu atap dengan wanita yang tak pernah dicintai. Setiap kali
aku memaksa diri untuk belajar menerima Ikhma dalam hidupku, namun apalah daya
cinta itu tak pernah terasa ada.
Terluka dan terluka, itulah rasa yang telah tertoreh di dalam
hatiku. Hanya sakit yang mengganjal didadaku, saat cinta bicara dengan orang
yang salah bukan dari pilihan hati. Akhirnya aku harus berbohong pada Ikhma,
akan ada tugas keluar kota untuk dua bulan ke depan untuk rencana pernikahan
keduaku.
''Kuputuskan untuk menikahi Lize dengan cara Islam, walau
pun aku telah melanggar hukum dan syariat Islam di dalamnya. Aku juga
mengetahui larangan Allah dalam Firman-Nya: ..
"Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik hingga
mereka beriman (masuk islam). Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik
dari wanita musyrik, walau pun ia menarik hatimu.
Dan janganlah kamu menikahkan wanita orang-orang musyrik
(dengan wanita-wanita mukmin) hingga mereka beriman. Sesungguhnya budak yang
mukmin lebih baik dari orang musyrik meskipun ia menarik hatimu (Qs : Albaqarah
:221).
Benar kata pepatah, sepandai-pandainya tupai melompat akan
terjatuh juga.
Dua bulan berlalu, aku kembali ke Banjarmasin bukan karena
Ikhma, tapi karena tanggung jawab pekerjaanku. Setelah empat bulan kepulanganku
dari Palangka, Lize datang ke rumahku dan bertemu dengan keluarga serta
istriku. Ia datang sebagai istri keduaku yang tidak hanya sendiri, tapi dengan
jabang bayi yang ada di rahimnya hasil buah cinta kami.
Lize sempat pingsan dua kali saat aku mengakui kebohonganku,
bahwa Ikhma adalah istri pertamaku. Aku membopongnya tubuhnya yang tak sadarkan
diri ke kamar. Saat aku dihakimi oleh keluargaku dan istri keduaku, kulihat
Ikhma lah yang paling tegar.
Tak ada setitik air mata mengalir di wajah sendunya, malahan
ia sibuk menenangkan ibuku yang tak henti menangis dan memakiku. Padahal aku
tahu, pasti dia lah orang yang paling terluka hatinya kala itu.
"Ay, bangun ay ... " Aku menyodorkan segelas air
putih dan meminumi Lize yang mulai sadar. Kugenggam erat tangan Lize sambil
memeluk erat tubuhnya. Aku tahu, Lize akan marah besar padaku saat ia tersadar
nanti, karena aku membohonginya selama ini. Aku sama sekali tidak mempedulikan
Ikhma, yang memanadangiku di balik pintu kamar dengan air mata yang menggenang
di sudut matanya dari wajahnya nampak kelam dan suram.
Setelah Lize sadar, ia menangis menghambur ke pelukanku
sekaligus memukul-mukul dadaku. Dalam pelukanku, kutenangkan ia agar berhenti
menangis. Kusuapi ia, agar mau makan. Kubujuk Lize, untuk bisa memaafkanku.
Kuceritakan semua yang terjadi dengan sebenar-benarnya, bahwa pernikahanku
dengan Ikhma bukanlah keinginanku.
Lize, ia menerima kenyataan itu pastinya juga dengan hati
yang sangat terluka. Malam itu, aku tidur dengan Lize. Sementara, aku tidak
tahu Ikhma tidur di kamar mana. Yang kutahu, ia tidak mau kukembalikan pada
orang tuannya.
Hidup satu atap dengan dua wanita bukanlah hal yang mudah,
apalagi ada orang tuaku yang selalu menyertai di dalamnya. Kesukaran demi
kesukaran terjadi. Orang tuaku yang menentang cintaku, terutama ibu, yang
selalu menyalahkan Lize sebagai perebut suami orang. Dan konyolnya, ibu percaya
kalau aku telah terkena guna-guna (ilmu hitam) dari Lize, gadis keturunan Suku
Dayak asli sehingga aku tak pernah bisa melepaskannya.
Lize, ia diperlakukan orangtuaku dengan tidak adil. Seperti
apa yang kulakukan kepada Ikhma, begitu juga yang dilakukan orangtuaku pada
Lize. Aku mengancam Ibu akan keluar dari rumah, jika tidak menghormati Lize
sebagai istriku. Tentunya Ibu tidak akan rela jika aku meninggalkannya, karena
aku anak satu-satunya.
Tetapi, ibu juga membuat hatiku risau. Ibu mengancamku tak
akan memaafkanku, jika aku tidak membagi cintaku dengan adil kepada dua istri
yang keduanya masih sah sebagai istriku.
Terutama istri pertamaku, yang selama ini kusia-siakan. Ini
hal yang tersulit yang harus kuhadapi. Tak ada wanita yang ingin digilir
cintanya, apalagi dengan keadaan Lize yang sedang hamil muda.
Malam keempat, saat aku seranjang dengan Ikhma, aku tak
dapat tidur. Bayanganku ada pada Lize yang berbaring di kamar sebelah. Mungkin
ia sedang menangis atau kedinginan, karena tak ada aku di sampingnya
menyelimuti tubuhnya, membelai rambutnya dan mencium keningnya sebelum tidur,
hal yang tak pernah kulakukan pada Ikhma.
Aku juga tidak tahu wanita mana yang paling terluka hatinya.
Di antara dua wanita ini hanya satu cinta yang kupunya, tentunya untuk Lize.
Entah kapankah, aku akan bisa menjadi suami yang adil.
"A, aku rela kau madu dan membagi cintaku , asal jangan
kau ceraikan aku ..."
Ikhma memohon di hadapanku dengan airmata yang tak
dibuat-buat. Aku hanya tertegun mendengar kata-kata itu, rasanya hatiku hampa
sekali. Tak ada jawaban dariku, karena aku memang tak ingin menjawabnya. Dan
untuk kesekian kalinya, kutorehkan luka di dadanya dengan caraku yang tak
pernah lembut memperlakukannya.
Bahkan, aku lebih sering tidur dengan Lize dari pada dengan
Ikhma, jika tak ada orang tuaku di rumah.
Pada malam selanjutnya yang dulunya tak pernah kukehendaki
terjadi juga. Karena saat itu orang tuaku ada di rumah, aku pun haus bersikap
lembut kepada Ikhma. Harusnya aku hanya tidur dengan Ikhma malam itu, tapi
karena Lize mengatakan ia sedang tak enak badan, ia pun meminta untuk tidur
bertiga di dalam kamar Ikhma, aku pun tak dapat menolak.
Kulihat Ikhma memalingkan tubuhnya, setelah aku mengecup
kening Lize di hadapannya. Aku baru bisa tertidur, setelah Lize ada di sebelah
kiriku sambil menenangkanku. Seperti biasa, setiap lewat dari jam satu malam
menuju dini hari, Ikhma shalat tahajud.
Entah do'a apa yang ia minta pada Allah, sampai air matanya
menetes di pipi. Kudengar samar-samar, ia inginkan agar aku bisa mencintainya
dan memberi kasih yang sama, seperti orang ketiga yang hadir dalam cinta kami.
Wanita yang telah kusakiti untuk kesekian kali, malam itu
bagai terlahir seperti bidadari surga, walau aku mulai tak mengerti dengan
perasaanku. Entah dari mana datangnya, hatiku mulai tersentuh dengan cintanya.
Malam itu, aku menggaulinya dengan sepenuh hatiku. Kupandangi wajahnya yang
teramat cantik malam itu dengan rasa kasih yang luar biasa.
"Mamah ... kau terlihat sangat cantik malam ini
sepertinya ... aku ... telah ... jatuh hati ... padamu ..."
"Katakah sekali lagi A ... aku ingin
mendengarnya.."
"Mamah, Kau ... terlihat ... sangat ... cantik ...
malam ini ... dan sepertinya ... aku ..."
Tak dapat kuteruskan kata-kata itu, mungkin karena hatiku
agak sedikit tabu untuk mengakuinya. Ikhma menangis bahagia karena terharu,
walau aku tak dapat meneruskan kata-kata selanjutnya.
Dan aku tahu, ia sangat ingin mendengar aku melanjutkan
kata-kata itu, tapi aku tak bisa. Lidahku terasa kelu, urat leherku terasa
kaku, tapi kata-kata itu memang tulus dari hatiku, walau pun sebelumnya aku tak
dapat tidur karena terus memikirkan wanita keduaku.
Lize, ia tahu aku tidak hanya sekedar tidur dengan Ikhma,
membuatnya sangat cemburu. Seakan, ia tak dapat menerima dan tak sanggup lagi
hidup denganku.
Pagi tiba. Lize, memasukan baju-bajunya ke dalam koper. Aku
merasa terpukul sekali. Aku membujuknya untuk tetap bersamaku sambil meminta
maaf, aku juga menjelaskan padanya, apa yang telah aku lakukan tadi malam
hanyalah sebuah kekhilafan yang terjadi di luar kendaliku.
Aku makin jadi serba salah, Ikhma menangis mendengar
kata-kataku, bahwa tadi malam yang kami lakukan hanyalah suatu
"kekhilafan." Dan baru kali ini, aku juga peduli pada Ikhma.
Aliran darahku seakan berhenti, saat Lize meminta aku
menceraikannya dan ia akan menggugurkan anakku yang ada di dalam kandunganya.
Ia merasa sudah tak tahan hidup denganku, dengan cinta yang tak adil untuknya.
Ikhma menuntun Lize masuk ke dalam rumah, untuk bicara baik-baik bertiga.
Karena hari itu hari Minggu, hanya ada kami bertiga di
rumah. Aku sedang libur kerja, sementara orang tuaku telah berangkat ke luar
kota setelah shalat subuh.
" Lize, jangan kau tinggalkan Mas Rifky, karena ia tak
bisa hidup tanpamu ...,"
"Mungkin kau bisa tegar menghadapi semua ini, tapi aku
tidak ! Kau, telah merebut ia dariku. Aku sangat benci padamu ,Ikhma. Juga
padamu, Rifky. Mengapa harus ada anak ini di rahimku, sementara kau sakiti aku
dengan cintamu"
Lize menangis dengan emosi yang membara ...
"Aku, tidak pernah merebut Mas Rifky darimu. Aku,
menikah dengan mas Rifky karena perjodohan yang tak pernah ku tentang. Jika
kutahu dia milikmu, pastinya aku tak akan menerima perjodohan itu.
Ia lelaki pertama di hidupku, yang membuatku terikat dalam
tali perkawinan. Ku pikir, dengan adanya ikatan pernikahan akan ada kehidupan
cinta di dalamnya, tapi sampai kini aku tak pernah menemui semua itu"
Mata Ikhma berkaca-kaca walau kelihatan nampak tegar.
"Mengapa kau tidak minta cerai darinya Ikhma, bukankah
kau tak pernah bahagia selama hidup dengannya? kau, adalah racun yang mematikan
dalam cinta kami"
"Demi Allah Lize, perceraian adalah sesuatu yang
dibenci Allah walau diperbolehkan. Mas Rifky, adalah jodoh yang diberikan Allah
yang ternyata bukan hanya untukku, tapi juga untukmu.
Untuk kujaga dan kuhormati pangkatnya dalam istana hatiku,
yang selalu aku terima setiap perlakuan apa pun darinya dengan Ikhlas. Aku
belajar mencintainya, seperti Tuhan mencintaiku. Aku tak pernah merasa
tersakiti dalam keadaan apa pun, selama aku bersamanya.
Mungkin, aku yang belum beruntung dalam menjalani kehidupan
cintaku. Kau beruntung, telah mendapatkan cinta yang besar darinya dan
mendapatkan keturunan darinya. Aku turut bahagia dengan semua itu"
"Mengapa kau bisa setegar ini Ikhma, maafkan aku baru
ku sadari, aku lah yang menjadi duri dalam daging untuk kehidupan cintamu, aku
akan pergi dari kehidupan kalian .."
"Tidak Lize, kau akan tetap di sini, bersama aku dan
Mas Rifky. Iya kan, Mas?''
Aku hanya mengangguk, tak percaya ada wanita setegar Ikhma
di dunia ini. Mungkin, ia adalah bidadari yang benar adanya, dan hatinya serupa
dengan malaikat yang tak bersayap?
Sembilan bulan berlalu. Saat jam bekerja Ikhma menelponku
mengabarkan kado bahagia, yang membuat hatiku bersuka cita. Akhirnya, Lize
melahirkan sorang putri yang cantik jelita, itu artinya aku telah menjadi
seorang ayah.
Kupandangi wajah istriku yang masih lemas di dalam kamar
bersalin. Segera aku datangi Lize dan mencium keningnya. Aku meminta Ikhma dan
Lize, tetap menjadi istri yang rukun dan ibu yang baik buat anak-anakku
nantinya. Dan Ikhma pun, dengan perasaan suka menyetujuinya. Lize juga senang
mendengar kabar kehamilan Ikhma, yang ternyata sudah memasuki bulan kedua.
Saat perjalanan pulang ke rumah bersama keluarga besarku.
Kulihat senyuman itu manis sekali tengah memangku putri kecilku. Wajah Ikhma
terlihat sangat cantik, dan tak bosan-bosan aku memandangnya. Cinta kurasakan
hari itu teramat besar padanya, walau bukan terlambat untuk mencintainya.
Tetapi setidaknya, aku sempat memberi cintaku padanya melebihi cinta yang
kurasakan pada Lize sebelumnya.
Lize, tersenyum ke arahku dengan tatapan bahagia. Bahagia
karena telah menjadi seorang ibu dan bisa menerima kemelut cinta yang telah
kami hadapi bersama. Tapi, tak pernah ku sangka senyuman itu menjadi detik
terakhir untuk kunikmati di hari bahagia dan keindahnya. Tuhan, telah memberikan
jalan lain untukku.
Ia mengambil semua keindahan cinta di saat aku baru mengecap
kisah kasih yang sempurna. Sebuah mobil datang dari arah pertigaan kota, lalu
bertabrakan dengan mobil yang kukendarai. Kecelakaan maut itu telah merenggut
nyawa istriku yang pertama.
Sebelum menghembuskan nafas terakhir, ia mengucapakan dua
kalimat syahadat dengan fasihnya dan sempat berpesan padaku:
"A Rifky ... Kau telah menjadi Ayah. Anak Lize, adalah
anakku juga. Jagalah anak kita dan sahabatku, Lize. Jangan pernah kau sakiti
hatinya, dan cintailah ia dengan cinta yang seutuhnya. Aku titip mereka padamu
..."
"Iya, Mah ...” Air mataku mengalir sambil merangkul
tubuhnya. Kupeluk dan kuciumi wajahnya yang bersimbah darah di kepala.
"Jangan tinggalkan aku, Mah. Kau wanita yang kuat ...
Kau akan bisa bertahan, Mah ..." teriakku dengan airmata yang membanjir.
Tuhan kiranya berkehandak lain. Jodoh, kehidupan, dan
kematian, Tuhan lah pemilik dan pengaturnya. Sampai di penghujung nafasnya, ia
mengucapkan kalimat syahadat dengan begitu fasihnya. Rohnya melayang pergi
meninggalkan jasadnya. Ikhma pun tiada.
Penyesalanku memang tak berguna, tapi setidaknya aku sempat
memberikan cinta yang besar padanya kurang lebih satu tahun sebelum
kepergiannya, dengan cinta yang tak dapat kutebus untuk seumur hidupku.
Karena setelah kepergiannya, aku tak pernah bisa berhenti
untuk mencintainya. Dia, memberiku kehidupan sebagai jantung kedua di hidupku.
Mungkin jika saat itu orang tuaku tidak menjodohkan aku dengan wanita setegar
dia, aku tak akan bisa bersama kembali dengan orang yang juga sangat kucintai,
Lize.
"Jika Lize adalah cinta pertamaku, maka Ikhma telah
menjadi cinta terakhirku ..
Jika Lize adalah cinta matiku, maka Ikhma lah sebagai cinta
yang hidup dalam jiwaku ..
Jika lize adalah cinta suciku, maka Ikhma adalah cinta
sejati di hidupku ..
Dan aku menunggu hari-hari indah itu kembali ..
Mengharapkan satu saat nanti ...
Aku bertemu dengan anak dan istriku berkumpul kembali, di
surga yang abadi ..."
Maafkan aku Ikhma ... yang tak sempat memberimu cinta, dari
separu usiaku yang tertinggal. Semoga, kau diterima di sisi-Nya dan mendapatkan
kebahagiaan abadi yang dikelilingi malaikat-malaikat putih yang menghias tidur
panjangmu, dengan taman kehidupan wangi surgawi yang tak pernah pudar.
Kusimpan cintamu dalam kasih yang abadi di dalam kenanganku.
Pertemuan yang kurindukan itu akan ada, setelah aku menyusulmu.
Aku, menunggu jantung keduaku untuk bisa segera bersamamu.
Kita akan bertemu di sana bersama anak-anak kita. Di sini, kami selalu berdo'a
kebaikan untukmu dan selalu merindukanmu.
Tidurlah yang damai, dan bersimpuhlah di keharibaan Tuhan
yang selalu kau bangakan keagungan-Nya. Semoga, kau telah di tempatkan di surga
firdaus-Nya. Aamiin ...
Semoga bermanfaat dan Dapat Diambil Hikmah-Nya. Aamiin
Silahkan Klik "SUKA" dan "BAGIKAN", Jika
dinilai baik & bermanfaat bagi sahabat semua. Semoga menjadi kebaikan Kita
semua.
(Cantumkan jika ada doa khusus, agar kami para jamaah bisa
mengaminkannya)
Ya ALLAH...
✔ Muliakanlah orang yang membaca
tausiah ini
✔ Entengkanlah kakinya untuk
melangkah ke masjid
✔ Lapangkanlah hatinya
✔ Bahagiakanlah keluarganya
✔ Luaskan rezekinya seluas
lautan
✔ Mudahkan segala urusannya
✔ Kabulkan cita-citanya
✔ Jauhkan dari segala Musibah
✔ Jauhkan dari segala
Penyakit,Fitnah,Prasangka Keji,Berkata Kasar dan Mungkar.
✔ Dan dekatkanlah jodohnya untuk
orang yang membaca dan membagikan tausiah ini.
Aamiin ya Rabbal'alamin. Mohon Di Share Ya J